penyu hijau

penyu hijau
santai

Rabu, 17 Juni 2009

Autisme: psikolinguistik

STIMULUS KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK AUTIS:

SUATU PEMBELAJARAN BAHASA


 

  1. Pendahuluan

Pemerolehan bahasa anak telah menjadi kajian yang cukup menarik perhatian para linguis. Bahkan, bagaimana proses anak memperoleh bahasa dan proses anak mempelajari suatu bahasa pun tak luput dari telaah yang dilakukan para ahli di berbagai bidang ilmu. Misalnya, bidang pendidikan, psikologi, dan ilmu linguistik itu sendiri.

Berbahasa pada dasarnya melingkupi empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut pada umumnya dipelajari di bangku pendidikan. Oleh karena itu, Maksan (1993:19-20) menyatakan bahwa terdapat dua cara seseorang anak memperoleh bahasa. Cara pertama diperoleh secara tidak sadar, informal, serta implisit. Cara pertama ini disebut juga dengan pemerolehan bahasa (language acquisition). Cara kedua diperoleh dengan adanya kehadiran guru, suasana kelas, dan dituntut adanya kurikulum, serta dilakukan dengan cara sadar. Cara ini disebut sebagai pembelajaran bahasa (language learning), karena adanya istilah pembelajar dan pengajar.

Situasi pemerolehan bahasa pertama seiring sejalan dengan penguasaan bahasa ibu (mother tangue). Biasanya berlangsung pada umur 0;0 sampai 5;0. Sedangakan pembelajaran bahasa berlangsung setelah umur 5;0. Hal ini umum terjadi pada anak normal serta pengklasifikasian ini telah disepakati oleh para ahli psikolinguistik. Keseragaman proses ini juga telah ditelaah oleh Chomsky melalui teori LAD-nya, bahwa proses pemerolehan bahasa pada anak mengalami tahap yang sama. Proses ini terjadi pada seluruh anak normal.

Anak-anak normal memperoleh bahasa secara alamiah dan mampu mengikuti pembelajaran bahasa. Namun, sebagian lainnya karena berbagai sebab mengalami kesulitan dalam memperoleh bahasa dan pembelajaran bahasa. Padahal bahasa adalah salah satu aspek penting bagi manusia untuk dapat mengekspresikan diri, bersosialisasi, dan memperoleh ilmu dalam pendidikan, serta digunakan dalam komunikasi dengan lingkungan sekitar.

Perkembangan bahasa pada anak bergantung pada maturasi otak, lingkungan, perkembangan motorik dan kognitif, integritas struktural, dan fungsional dari organism (Sidiarto, 1991:134). Apabila terdapat gangguan pada proses perkembangan anak, maka akan berimplikasi pula terhadap pembelajaran bahasa pada anak. Gangguan ini dapat berupa gangguan berbahasa, gangguan pendengaran, keterbelakangan mental, autism, afasia, disleksia, dan sebagainya.

Gangguan berbahasa pada anak dapat berupa keterlambatan bicara. McCormic dan Schiefelbusch (dalam Sidiarto, 1991:136) membagi gangguan berbahasa ke dalam lima kategori penyebab:

  1. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berkaitan dengan gangguan motorik. Termasuk di dalam kelompok ini adalah anak dengan cerebral palsy.
  2. Gangguna bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan deficit sensori. Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan gangguan pendengaran.
  3. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan kerusakan sistem syaraf pusat. Kaerusakan sistem syaraf ini dapat bersifat ringan dan bersifat berat. kelompok ini tergolong pada afasia.
  4. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan disfungsi emisional-sosial yang berat. termasuk dalam kelompok ini adalah anak dengan psikosis, skizofernia, dan autisme.
  5. Gannguan bahasa dan komunikasi yang berhubugan dengan gannguan kognitif. Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan keterbelakangan mental.

Beberapa gangguan berbahasa yang telah diuraikan, tentunya tidak tertutup kemungkinan adanya usaha agar anak dapat berbahasa dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Untuk memberikan penanganan terhadap gangguan bahasa pada anak perlu dikenali terlebih dahulu jenis gangguannya. Selanjutnya perlu diketahui juga bahwa jika dalam penanganan gannguan berbahasa pada anak diperlukan dua disiplin ilmu yang dikolaborasikan sebagai jalan keluarnya. Aspek utama yang harus dijadikan ladasan adalah linguistik. Pengkolaborasian ini didasarkan pada aspek yang akan dikaji, jika dikaitkan dengan aspek kejiwaan anak, maka landasan yang dijadikan dasar kajian adalah psikologi. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan untuk menyertakan dasar neorologis.

Seperti halnya makalah ini akan mengkolaborasikan tiga pendekatan sebagai landasan pemikiran, yaitu linguistik, psikologi, dan neurologi. Hal ini dilakukan karena mengkaji kemampuan berbahasa anak autis (apalagi di dalam menstimulus dan pembelajaran) tidak bisa dipisahkan dari tiga landasan tersebut. Level pengambilan kajian didasarkan pada kenyataan yang berkembang saat ini adalah cukup banyaknya Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menangani anak autis. Keberadaan SLB yang secara formal memberikan pembelajaran (termasuk pembelajaran bahasa) belumlah optimal, terutama di daerah-daerah. Namun pada dasarnya, makalah ini hanya akan mendeskripsikan bagaimana menstimulus kemampuan (pembelajaran) berbahasa anak autis dilihat dari kajian linguistik, psikologi, dan neurologi yang lebih dikenal dengan kajian psikolinguistik dan neurolinguistik.


 

  1. Pembahasan

Di dalam kajian psikolinguistik, anak melalui dua tahap perkembangan bahasa, yaitu pemerolehan bahasa (language acquisition) dan pembelajaran bahasa (language learning). menurut Maksan (1993:19-20) pemerolehan bahasa dilakukan secara tidak sadar, informal, serta implisit. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan adanya kehadiran guru, suasana kelas, dan dituntut adanya kurikulum, serta dilakukan dengan cara sadar. Selanjutnya, juga dinyatakan bahwa setiap anak mengalami tahapan yang sama (universal) dalam pemerolehan bahasa, yaitu tingkat membabel (0;0—1;0), masa holofrasa (1;0—2;0), masa ucapan dua kata (2;0—2;6), masa permulaan tata bahasa (2;6—3;0), masa menjelang tata bahasa dewasa (3;0—4;0), dan masa kecakapan penuh (4;0—5;0).

Di samping itu, pemerolehan bahasa secara linguistik, melingkupi pemerolehan fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Jakobson (dalam Dardjowodjojo, 2003:238—267) menyatakan bahwa pemerolehan bunyi (fonologi) berjalan selaras dengan kodrat bayi tersebut. Bunyi pertama yang diperoleh anak adalah bunyi vokal kemudian berturut-turut diperoleh bunyi konsonan. Pada proses pemerolehan sitakasis, anak mulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata) dan dilanjutkan dengan pemerolehan kata berikutnya yang mulai menunjukkan kelengkapan kata tersebut serta munculnya negasi belum dalam kalimat yang diujarkan anak. Pada tahap pemerolehan semantik, anak mengawalinya dengan menentukan terlebih dahulu makna berdasarkan masukan yang ia peroleh dan bagaimana anak menguasai makna tersebut. Sedangkan dalam tahap pemerolehan pragmatik, anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa tetapi juga memperoleh tindak berbahasa. Tahapan ini pada umumnya dilalui oleh anak secara realtif lancar, namun terjadi pengecualian pada anak yang menderita autis.

Anak Autis

Di dalam kajian psikologi, anak autistik (anak autis) merupakan bagaian integral dari anak luar biasa. Hadis (2006:43) menyatakan bahwa anak autistik adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. Autism juga merupakan gangguan perkembangan organik yang mempengaruhi kemampuan anak-anak dalam berinteraksi dan menjalani kehidupannya (hanafi dalam hadis, 2006:2002).

Gangguan perkembangan ini sangat kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi anak, serta emosional anak. Dengan kata lain, pada anak autisme terdapat hambatan yang berat dalam kemampuan perkembangan verbal dan interaksi non-verbal.

Dari segi neurolinguistik (Sidiarto, 1991:140), penyebab autisme adalah sulitnya anak dalam memfungsikan integrasi sensoris dan proses urutan (sequencing process). Fungsi ini merupakan dasar perkembangan sistem komunikasi dan linguistik. Terganggunya penggunaan bahasa verbal untuk komunikasi, interaksi komunikasi, dan kurangnya mampunya membaca bahasa tubuh, ekspresi muka, atau nada suara mengindikasikan bahwa secara neurologis, anak mengalami kerusakan pada kedua hemisfer otaknya.

Anak-anak dengan autism menggunakan komunikasi dan strategi yang kacau dalam belajar bahasa. apabila diberi stimulus yang kompleks, maka anak autis cenderung member respon pada satu komponen. Pola respon demikian disebut stimulus overselectivity atau overselective attention.

Faktor penyebab autism masih terus dicari. Namun, beberapa teori terbaru menyatakan bahwa faktor genetika (keturunan) memegang peran penting dalam proses terjadinya autisme. Komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal juga ditemukan pada anak autisme. Berbagai kondisi neuopatologi yang berada diluar kewajaran (normal) juga turut menjadi penyebab terjadinya autisme (Hadis, 2006:45-46).

Lebih jauh, Hadis (2006:46) juga mendeskripsikan karakteristik anak autisme dari enam masalah/ gangguan, yaitu:

  1. Masalah/ gangguan di bidang komunikasi: perkembangan bahasa anak autisme lambat atau sama sekali tidak ada. Anak tambak seperti tuli dan sulit bicara. Senang membeo (echolalia) dan senang menarik tangan orang lai untuk menyatakan keinginannya.
  2. Masalah/ gangguan di bidang interaksi sosial: anak autis lebih suka menyendiri, tidak melakukan kontak mata bahkan cenderung menghindari kontak mata.
  3. Masalah/ gangguan di bidang sensoris:anak autis tidak peka terhadap sentuhan (tidak mau dipeluk), langsung menutup telinga ketika medengar suara keras. Senang mencium dan menjilat mainan, dan tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.
  4. Masalah/ gangguan di bidang pola bermain: anak autis tidak bermain seperti anak umumnya, tidak memiliki kreativitas, senang bermain dengan benda yang berputar, dan tidak mau lepas dari benda yang mapu ia pegang dan dapat dibawa kemana-mana.
  5. Masalah/ gangguan di bidang perilaku: anak autis dapat berperilaku hiperaktif dan kadangkala hipoaktif, menstimulasi diri sendiri, suka duduk bengong dengan tatapan kosong, dan tidak suka perubahan.
  6. Masalah/ gangguan di bidang emosi: anak autis sering marah tanpa alasan, kadang agresif dan merusak, kadang menyakiti diri sendiri, serta tidak memiliki empati.

Stimulus Kemampuan Berbahasa Anak Autis.

Hampir semua anak autis mengalami kesulitan dalam kemampuan verbalnya. Kadang mereka mampu untuk berbicara, namun tidak termasuk dalam kategori komunikasi. Salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak autis dapat dilakukan pembelajaran bahasa pada mereka. Bentuk pemebelajran bahasa yang dapat dilakukan berupa terapi wicara yang dapat dikombinasikan dengan metode ABA.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam terapi wicara menyentuh ranah (Veskarisyanti, 2008:48—49):

  1. Artikulasi atau pengucapan:

    Anak autis mengalami kekurangsempurnaan dalam pengucapan karena daerah artikulasinya mengalami gangguan. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan latihan pengucapan dengan melibatkan cara dan tempat artikulasi (place and manners of articulation). Latihan yan dapat diberikan antara lain, propoceptive
    neuromuscular.

  2. Organ bicara dan sekitarnya:

    Sifatnya fungsional, sehingga perl dilibatkan oral peripheral mechanism exercises dan oral motor activities: aktivitas yang melatih fungsi dari motorik organ bicara pada manusia.

  3. Untuk bahasa:

    Aktivitas yang dilakukan adalah dalam tahapan fonologi, semantik, morfologi, sintaksis, wacana, metalinguistik, dan pragmatik.

  4. Pendengaran:

    Terapi yang dapat diberikan adalah dengan menyertakan alat bantu bersifat medis dan penggunaan sensori lainnya.

  5. Suara:

    Gangguan pada suara adalah penyimpangan dari nada, intensitas, kualitas, atau penyimpangan lain dari atribut dasar pada suara, yang menimbulkan gangguan komunikasi, memeberikan kesan negative pada si pembicara akan mempegaruhi pendengar.

  1. Penutup

Anak-anak normal memperoleh bahasa secara alamiah dan mampu mengikuti pembelajaran bahasa. Namun, sebagian lainnya karena berbagai sebab mengalami kesulitan dalam memperoleh bahasa dan pembelajaran bahasa. Padahal bahasa adalah salah satu aspek penting bagi manusia untuk dapat mengekspresikan diri, bersosialisasi, dan memperoleh ilmu dalam pendidikan, serta digunakan dalam komunikasi dengan lingkungan sekitar.

Faktor penyebab autism masih terus dicari. Namun, beberapa teori terbaru menyatakan bahwa faktor genetika (keturunan) memegang peran penting dalam proses terjadinya autisme. Komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal juga ditemukan pada anak autisme. Berbagai kondisi neuopatologi yang berada diluar kewajaran (normal) juga turut menjadi penyebab terjadinya autisme.

Walaupun demikian, masih terdapat cara untuk membantu menstimulus kemampuan berbahasa anak yang menderita autis. Anak autis dapat dibantu memeprlajari bahasa melalui terapi wicara.


 

Daftar Pustaka

Dardjowidjojo, Soejono. 2003. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.

Hadis, Abdul. 2006. Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus: Autistik. Bandung: Alfabeta.

Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang Press.

Sidiarto, Lily. 1991. PELLBA: penyunting Bambang Kaswanti Purwo. Jakarta: Kanisius.

Veskarisyanti, Galih. A. 2008. 12 Terapi Autis: Paling Efektif dan Hemat. Yogyakarta: Galang Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar